Dalam kajian ushul fiqh terdapat teori yang terkenal dengan maqashid al-syariah (tujuan-tujuan ditetapkannya syari’at). Rumus ini sudah lama dikenal dalam lintasan sejarah kajian ushul fiqh. Namun teori ini disistematisasikan dan disempurnakan oleh Abu al-Ishaq al-Syathibi, intelektual muslim yang lahir dari rahim keemasan peradaban Islam era Spanyol.
Dalam risalahnya yang monumental bertajuk al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari’ah, Vol. II, ia mendedahkan panjang lebar teori tersebut. Dalam pembahasannya, Al-Syathibi membagi maqashid ini kepada dua bagian penting yakni maksud Tuhan sebagai pencipta syariat (qashdu al-syari’) dan tujuan manusia yang terbebani syariat (qashdu al-mukallaf).
Pada pembahasan qashdu al-syari’, Al-Syathibi melemparkan pertanyaan penting “Apakah sesungguhnya tujuan syari’ dengan menetapkan syariatnya?” pertanyaan ini dijawab sendiri olehnya. Ia menyatakan, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain selain untuk menarik kemaslahatan dan menghindari kemudaratan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid). Simpelnya, aturan-aturan hukum yang digariskan Allah berguna untuk kemaslahatan manusia.
Al-Syathibi kemudian membagi maslahat ini kepada tiga bagian penting yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyat (tersier). Maslahat dharuriyyat adalah sesuatu yang mesti adanya demi terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan seperti makan, minum, shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya.
Ia lantas merumuskan lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan untuk menegakkan maslahat dharuriyyat yang populer disebut dengan kulliyat al-khams (lima prinsip universal), yaitu hifdh al-nafs (menjaga jiwa), hifdh al-diin (menjaga agama), hifdh al-‘aql (menjaga akal), hifdh al-nasl (menjaga nasab), dan hifdh al-mal (menjaga harta).
Lima unsur itu bisa ditempuh dengan dua cara yaitu: Pertama, dari segi adanya (min nahiyyati al-wujud) yaitu dengan cara menjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya; Kedua, dari segi tidak ada (min nahiyyati al-‘adam) yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya.
1. Menjaga nafs (jiwa) dari segi al-wujud misalnya makan dan minum; Menjaga jiwa dari segi al-‘adam misalnya hukuman qisas dan diyat;
2. Menjaga agama dari segi al-wujud, misalnya shalat dan zakat; Menjaga agama dari segi al-‘adam misalnya jihad dan hukuman bagi orang murtad;
3. Menjaga akal dari segi al-wujud misalnya makan dan mencari makan; Menjaga akal dari segi al-‘adam misalnya hukuman bagi pengonsumsi Narkoba;
4. Menjaga an-nasl dari segi al-wujud misalnya menikah; Menjaga an-nasl dari segi al-‘adam misalnya hukuman bagi pezina dan penuduh zina tanpa bukti;
5. Menjaga harta (al-mal) dari segi al-wujud misalnya jual beli dan mencari rizki; Menjaga harta dari segi al-’adam misalnya riba, memotong tangan pencuri.
Maslahat dharuriyat dalam pandangan Al-Syatibi memang berpola binary opposition atau oposisi biner, antara ada dan tidak ada. Jika sesuatu ada maka hidup dan kehidupan di muka bumi akan berjalan, dan jika sesuatu itu tidak ada maka hidup dan kehidupan akan berhenti. Kulliyat al-khams ini merupakan prinsip dasar hak asasi manusia (HAM) dalam Islam.
Hifdh al-nafs, menjadi alasan mengapa manusia tidak boleh disakiti dan dilukai bagian tubuhnya, apalagi dibunuh. Kesemuanya dalam Islam tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan tertentu seperti perang, hukuman, dan sebagainya.
Hifdh al-diin (menjaga agama) mengandaikan bahwa semua manusia berhak memeluk dan meyakini agama tertentu tanpa boleh diganggu gugat oleh orang lain. Pasal ini juga memberikan garansi kebebasan beragama bagi setiap orang termasuk kebebasan untuk tidak memeluk agama.
Hifdh al-‘aql yang berarti menjaga akal pikiran. Pasal ini merupakan alasan mengapa menenggak minuman keras, mengonsumsi narkoba, dan apapun yang memabukkan, selain untuk alasan medis diharamkan. Pasalnya semuanya berpotensi mengganggu bahkan merusak kesehatan akal pikiran manusia. Jika dipahami lebih mendalam, prinsip ini tidak hanya berhenti di situ, lebih dari itu ada jaminan kebebasan berpikir dan berpendapat bagi setiap orang.
Hifdh al-nasl atau menjaga keturunan, menjadi ‘illat (alasan) pengharaman zina. Persenggamaan antara seorang lelaki dan perempuan di luar lembaga nikah, akan sangat membahayakan keturunanannya dalam beberapa hal terutama sisi biologis, psikologis, dan kesejahteraan hidup (ekonomi dan sosial). Karena, anak yang lahir di luar nikah, secara legal formal sebenarnya dia tidak mempunyai ayah, karenanya dia tidak berhak menjadi ahli waris orang tuanya.
Hifdh al-mal, pasal ini memberikan hak kepada seseorang untuk memiliki kekayaan harta benda, dan melarang seseorang untuk merebutnya, seperti mencuri, korupsi, dan semacamnya. Pengambilalihan harta individu hanya bisa dilakukan dengan alasan yang sah dan memeroleh legalitas dari penguasa formal (ulil amri).
Sumber